Opini Oleh :
Muhammad Sirul Haq SH, C.NSP, C.CL
Advokat dan Konsultan Hukum Kantor Hukum MSH Law Firm 085340100081
Di negeri yang mengaku demokratis, pesta lima tahunan seharusnya adalah perayaan keterbukaan. Namun apa jadinya bila rakyat diminta memilih pemimpin, sementara tabir identitas calon dipagari rapat oleh aturan resmi? Keputusan KPU Nomor 731 Tahun 2025 telah mengetuk palu: dokumen persyaratan pasangan calon presiden dan wakil presiden ditetapkan sebagai informasi publik yang dikecualikan.
Maka, rakyat pun disuguhi pesta demokrasi, tetapi hidangan utamanya disembunyikan di balik tirai. Kita hanya boleh mencium aromanya dari jauh, tanpa pernah tahu apakah isinya santapan sehat atau racun yang membahayakan. Demokrasi, dalam wajahnya yang absurd, menjelma permainan menebak: memilih kucing dalam karung.
Padahal, dokumen-dokumen itu bukan sekadar berkas administratif. Di dalamnya ada rekam jejak, kesehatan, integritas, hingga riwayat pendidikan yang seharusnya menjadi jendela bagi rakyat untuk menilai kelayakan calon pemimpin. Dengan menutup jendela itu, KPU justru membuat rakyat berjalan dalam gelap, hanya berbekal slogan partai dan pencitraan media.
Analisis Hukum: Tabir yang Bertentangan dengan Semangat Undang-Undang
KPU mendasarkan pengecualian ini pada Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik (UU KIP), terutama Pasal 17 huruf h yang memberi celah menutup informasi pribadi. Namun, Pasal 2 UU KIP menegaskan asas dasarnya: “Setiap Informasi Publik bersifat terbuka dan dapat diakses oleh setiap Pengguna Informasi Publik.” Pengecualian hanyalah jalan sempit, bukan jalan raya.
Di sisi lain, Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu (yang telah diubah dengan UU No. 7 Tahun 2023) mewajibkan keterbukaan data pencalonan agar publik dapat memberikan masukan. Bukankah syarat pencalonan presiden dan wakil presiden adalah urusan publik, bukan privat? Mengunci informasi tersebut justru mengerdilkan prinsip checks and balances dalam demokrasi.
Jika ditilik lebih jauh, konstitusi kita melalui Pasal 28F UUD 1945 menegaskan hak setiap orang untuk memperoleh informasi. Maka, keputusan KPU ini dapat dianggap bertentangan dengan semangat konstitusi, sebab membatasi hak rakyat untuk tahu siapa yang hendak menjadi pemimpin mereka.
Yurisprudensi: Hak Tahu Publik yang Pernah Ditegakkan
Beberapa putusan pengadilan pernah menegaskan bahwa data calon pejabat publik bukanlah milik pribadi semata, melainkan bagian dari akuntabilitas demokrasi:
1. Putusan Mahkamah Konstitusi No. 5/PUU-V/2007 – MK menegaskan bahwa keterbukaan informasi adalah syarat mutlak demokrasi. Rakyat berhak mengetahui rekam jejak calon pejabat publik agar dapat menentukan pilihan secara rasional.
2. Putusan Mahkamah Konstitusi No. 1/PUU-VIII/2010 – MK menolak dalih privasi untuk menutupi data publik bila menyangkut calon yang hendak menduduki jabatan publik. Hak privasi tunduk pada kepentingan yang lebih besar: transparansi dan akuntabilitas.
3. Putusan Komisi Informasi Pusat (KIP) No. 025/XII/KIP-PS-M-A/2010 – KIP memutuskan bahwa dokumen persyaratan calon legislatif harus dibuka ke publik, karena menyangkut kepentingan pemilih. Analogi ini relevan: bila caleg saja harus terbuka, apalagi calon presiden.
4. Putusan PTUN Jakarta No. 2/G/KI/2015/PTUN-JKT – menegaskan bahwa KPU wajib membuka dokumen terkait pencalonan untuk menjamin kepercayaan publik pada proses demokrasi.
Yurisprudensi ini ibarat lentera hukum: mengingatkan bahwa demokrasi tak boleh dijalankan dalam gelap. Hak tahu publik bukan sekadar etika, melainkan amanat hukum.
Demokrasi Tanpa Cahaya
Keputusan KPU mengajarkan satu hal: rakyat boleh memilih, tapi jangan banyak bertanya. Rakyat diberi hak suara, tapi tidak hak tahu. Padahal, hak memilih tanpa hak mengetahui hanyalah kontrak buta; tanda tangan di atas kertas kosong, sementara isinya dirahasiakan.
KPU, dalam keputusan ini, seolah lupa bahwa ia adalah wasit, bukan penjaga rahasia. Demokrasi yang sehat menuntut keterbukaan, bukan pengaburan. Bila memilih pemimpin disamakan dengan membeli kucing dalam karung, maka pesta rakyat tak lebih dari lelucon tragis.
Dan sejarah akan mencatat, bila demokrasi terus dijalankan dengan cara ini, maka rakyat bukan sedang memilih masa depan, melainkan sedang dipaksa berjudi dengan nasib bangsanya sendiri.