Opini Oleh:
Muhammad Sirul Haq SH, C.NSP, C.CL
Direktur LKBH Makassar
Advokat dan Konsultan Hukum 085340100081
AMDAL: Dulu Sebuah Benteng, Kini Hanya Gerbang Formalitas
Dulu, AMDAL (Analisis Mengenai Dampak Lingkungan) adalah benteng terakhir. Setiap proyek harus menghadapinya; di sana suara rakyat bisa dicatat, jerit lingkungan bisa terdengar, dan hukum bisa melawan kerakusan modal.
Namun, setelah UU No. 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja lahir, benteng itu runtuh. AMDAL dilebur ke dalam satu istilah baru: Persetujuan Lingkungan, diatur lebih lanjut dalam PP No. 22 Tahun 2021. Dari instrumen pengendali, ia berubah menjadi sekadar gerbang administratif.
Bahaya dalam Perubahan
Bahaya itu tidak sederhana, melainkan filosofis:
AMDAL dulu: alat uji kelayakan, berdiri independen, bisa dibatalkan lewat gugatan.
Persetujuan Lingkungan kini: melekat pada izin usaha. Jika izin keluar, lingkungan hanyalah syarat tempelan, sering kali sudah terlambat untuk digugat.
Partisipasi publik yang dulu wajib di AMDAL, kini dipangkas. Dalam praktik, “keterlibatan masyarakat” sering hanya formalitas, bukan musyawarah sejati.
Merujuk pada, Maria S.W. Sumardjono (2008) menegaskan, hak atas tanah dan lingkungan adalah hak konstitusional yang tak bisa dipangkas dengan alasan investasi.
Juga ditegaskan oleh Wahyu Nugroho & Koalisi Masyarakat Sipil (2021) dalam telaah kritis UU Cipta Kerja menyebut perubahan AMDAL menjadi Persetujuan Lingkungan sebagai bentuk “environmental deregulation” yang berpotensi menimbulkan konflik agraria dan ekologi.
Apalagi sikap UN Human Rights Council (2018) menekankan bahwa hak atas lingkungan sehat adalah bagian tak terpisahkan dari hak asasi manusia.
Yurisprudensi Nasional: Jejak Hukum yang Terlupakan
Sejarah peradilan lingkungan di Indonesia justru menunjukkan pentingnya AMDAL sebagai alat kontrol:
Putusan PTUN Jakarta No. 75/G/LH/2017 → membatalkan izin reklamasi Teluk Jakarta karena AMDAL cacat prosedur.
Putusan MA No. 31 K/HUM/2012 (Kasus WALHI vs Gubernur Aceh) → izin tambang batubara dibatalkan demi melindungi lingkungan dan partisipasi masyarakat.
Putusan MA No. 1792 K/Pdt/2004 (Kasus Lumpur Lapindo) → korporasi dan pejabat digugat ganti rugi atas kerusakan lingkungan besar-besaran.
Yurisprudensi ini menegaskan, tanpa AMDAL yang kuat, rakyat kehilangan senjata hukum untuk melawan izin bermasalah.
Jejak Konstitusi yang Dikhianati
Padahal konstitusi jelas:
Pasal 28H UUD 1945 → hak atas lingkungan hidup yang baik dan sehat adalah hak asasi manusia.
Pasal 33 ayat (3) UUD 1945 → bumi, air, dan kekayaan alam untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.
Dengan melemahkan AMDAL menjadi Persetujuan Lingkungan, negara sesungguhnya menukar amanat konstitusi dengan janji-janji investasi.
Jerit Bumi yang Diredam akibat Modus Eksploitasi sumber daya alam
Dulu, AMDAL merekam jerit bumi. Hutan yang ditebang, sungai yang tercemar, tanah adat yang direbut—semua punya ruang bicara.
Kini, suara itu dibungkam.
Persetujuan Lingkungan adalah meja perjamuan antara pemerintah dan korporasi, di mana rakyat tidak pernah benar-benar diundang.
Selembar kertas persetujuan bisa melegalkan penebangan hutan, perampasan tanah adat, atau reklamasi laut. Bumi menangis, tapi suaranya dipenjarakan di balik tanda tangan birokrat.
Ayo Waspada, Jangan Terbuai
Persetujuan Lingkungan bukanlah sekadar istilah baru. Ia adalah modus deregulasi, jalan pintas yang membungkam rakyat dan menggadaikan bumi.
Waspadalah, sebab ketika AMDAL diubah menjadi Persetujuan Lingkungan, itu bukan sekadar perubahan prosedur administratif. Itu adalah perubahan takdir: dari bangsa penjaga tanah air menjadi bangsa yang menandatangani kontrak perampokan atas dirinya sendiri.
*Tentang Penulis : Muhammad Sirul Haq, SH adalah seorang advokat dan aktivis bantuan hukum yang cukup vokal di Makassar, terutama terkait masalah tanah, waris, dokumentasi kepemilikan lahan, dan pengawasan aparat penegak hukum terhadap prosedur. Ia memimpin organisasi bantuan hukum (LKBH Makassar). Advokat dan konsultan hukum, Pengacara Makassar Indonesia dengan pengalaman dalam litigasi perdata, pidana, agraria, dan hukum administrasi negara. Pimpinan kantor hukum Muhammad Sirul Haq, S.H. & Rekan, aktif mendampingi masyarakat pencari keadilan, khususnya dalam sengketa pertanahan, korban pelanggaran HAM, dan advokasi kebijakan publik serta lingkungan. 085340100081