Maros, Sulawesi Selatan – Keputusan Kejaksaan Negeri Maros terkait dugaan kasus korupsi di Komite Olahraga Nasional Indonesia (KONI) Maros yang seolah "dihentikan sementara" setelah pengembalian kerugian negara sebesar Rp130 juta, menuai sorotan tajam dan kritik keras dari pemerhati hukum. Sekretaris Jenderal Lembaga Pemerhati Hukum dan Lingkungan Hidup HAMZAH menegaskan bahwa hukum harus berjalan tegas ke atas dan ke bawah, demi efek jera dan kepercayaan rakyat pada keadilan.
"Pengembalian kerugian negara BUKANLAH alasan untuk menghentikan proses hukum pidana korupsi," ujar perwakilan Lembaga Pemerhati Hukum. Ia merujuk pada Pasal 4 UU Tipikor (UU No. 31 Tahun 1999 jo. UU No. 20 Tahun 2001) yang secara gamblang menyatakan bahwa pengembalian kerugian negara tidak menghapuskan pidana terhadap pelaku. "Ini adalah prinsip dasar yang harus dipegang teguh. Pengembalian hanya meringankan hukuman, bukan menghentikan perkara."
Kekhawatiran terbesar adalah potensi preseden buruk yang dapat ditimbulkan. "Jika koruptor cukup mengembalikan dana setelah ketahuan, maka ini sama saja menciptakan impunitas terselubung," lanjutnya. Hal ini dikhawatirkan akan menghilangkan efek jera dan mengikis kepercayaan publik terhadap lembaga penegak hukum.
Pemerhati hukum juga mempertanyakan tahap kasus ini, apakah sudah masuk penyidikan atau masih penyelidikan. Jika sudah penyidikan, penghentian perkara harus melalui mekanisme SP3 (Surat Perintah Penghentian Penyidikan) dengan dasar hukum yang kuat dan transparan. "Apakah ada gelar perkara? Apakah sudah sesuai KUHAP dan SOP Kejaksaan? Ini harus jelas agar tidak ada potensi konflik kepentingan," tegasnya.
Selain itu, kewenangan APIP (Aparat Pengawasan Intern Pemerintah) juga diluruskan. Temuan APIP adalah dasar administratif, bukan akhir dari proses hukum pidana. Pengembalian atas temuan APIP hanya cukup untuk menghentikan proses administratif, bukan proses pidana.
Meskipun nilai kerugian yang disebut relatif kecil, yakni Rp130 juta, pemerhati hukum mengingatkan bahwa korupsi tetaplah korupsi. "Jika korupsi kecil dibiarkan, ini akan menjadi sistemik dan membudaya. Penindakan tetap penting sebagai simbol komitmen hukum dan untuk memberikan efek jera," pungkasnya.
Rakyat membutuhkan tindakan nyata, bukan sekadar cerita belaka. Kejaksaan Negeri Maros didesak untuk bersikap tegas, independen, dan transparan. Pertanyaan krusial seperti apakah sudah ada penetapan tersangka, mengapa kasus dihentikan hanya karena pengembalian dana padahal UU melarangnya, dan apakah ada intervensi, harus dijawab secara terbuka demi tegaknya supremasi hukum dan keadilan bagi seluruh lapisan masyarakat.